Saya Bukan Penari Jalanan



Mungkin kita sering melihat atau mendengar tentang kisah penari yang berlenggak lenggok di pinggiran trotoar atau menari keliling kampung dengan dandanan menor lengkap dengan busana tradisional serta sanggul. Mereka sudah tidak menghiraukan rasa malu meski saya yakin dalam hati mereka pasti merasa malu karena setiap orang ada yang memandang sinis mereka bahkan tak jarang mendapat cibiran dari orang sekitarnya. Ketika saya selalu mencuri pandang pada sosok penari tersebut dan kepergok sama dia lalu saya dengan cepat segera mengalihkan pandangan ke tempat lain untuk menjaga perasaannya. Ketika sekilas saya memandang wajahnya tersirat ada sedikit rasa malu yang mengisyaratkan dengan selalu menundukkan wajahnya.



Cerita penari jalanan ini mengingatkan kisah saya ketika mengikuti lomba mirip tokoh pahlawan di JCC Senayan yang diselenggarakan oleh Gelar Museum Nusantara. Kisah ini akan selalu saya kenang sepanjang hidup saya. Lewat kisah ini saya mendapat asupan ilmu dari berbagai sudut, dimana  saya harus berjuang untuk melawan rasa malu, nervous ketika berada di atas panggung, buyar konsentrasi ketika para juri melontarkan pertanyaan dan harus unjuk kemampuan di hadapan banyak orang. Ya, semua itu sudah saya rasakan waktu itu. Mungkin karena saya belum terbiasa tampil di depan public apalagi di uji pengetahuan dan kemampuan kita, jadi pengalaman ini buat saya exited.



Awalnya saya ragu ketika mendaftarkan diri, namun entah kenapa saya yang tidak terbiasa bangun pagi sekali (jam 4), karena untuk sholat subuh pun seringnya kelewat dan sholat pun dilaksanakan ketika pukul 05.15 atau 05.30. Karena saya tinggal di mess kantor, otomatis saya hanya membawa keperluan saya secukupnya termasuk pakaian, jika ada yang diperlukan biasanya pulang dulu. Tidak ada persiapan apapun untuk mengikuti lomba ini, apalagi memikirkan kostum dan tata rias.  Pagi buta saat saya terbangun timbul niat dadakan untuk mengikuti lomba tersebut, saat itu saya meluncur ke Depok (rumah) untuk mengambil kebaya dan kain. Sesampainya di rumah saya obrak abrik peralatan salon saya karena saya merasa punya beberapa sanggul, tapi tidak ada lama saya mengingat dimana keberadaan sanggul itu dan kemudian  saya ingat, sewaktu Kartinian tahun lalu saya pernah merias anak-anak SD untuk mengikuti lomba kartini di Sekolahnya, dan sanggulnya saya simpan di rumah tante yang ketika itu jadi markas buat salon sementara.

Akhirnya pagi sekitar pukul 06 pagi saya meluncur lagi ke mess kantor karena letaknya strategis dan dekat ke JCC, sepanjang jalan saya melihat plang2 salon dengan harapan ada yang nyatu dengan rumah sehingga bisa di gedor paksa ke rumahnya, hahahaaaa…#pemaksaan. Beruntung sekali ada sebuah salon yang letaknya tidak jauh dari mess yang sedang merias orang yang mau ke aara kondangan. Toktok permisiii tanpa basa basi saya membuka pintu dengan semangat, mba saya mau disanggul dan make-up, oh maaf sebelumnya udah janji? Belum, jawab saya. Oke baiklah jawab si mbak itu.

Niatnya mau make-up dan sanggulan sendiri jadi gagal deh karena peralatan salonku berada ditempat lain. Selesai sudah make overnya. Lalu saya bergegas menuju JCC Senayan, karena takut terjebak macet didaerah UIN Ciputat, saya nekad dianter pakai motor sampai UNJ Lebak Bulus, dari situ saya berganti naik Taxi. Tidak membutuhkan lama untuk menunggu TAXI, tapi sudah membuat saya gerah karena banyak mata tertuju pada saya. Campur aduk perasaan yang berkecamuk dalam dada ini sehingga saya sangat benci sama orang yang memandang saya waktu itu, mungkin mereka menganggap aku penari yang suka ada dilampu merah atau penari keliling kampung, pasang muka jutek habis sambil memainkan bola mata yang menunjukkan bahwa saya tidak senang dilihat aneh seperti itu. Tidak lama akhirnya datang juga kendaraan yang saya tunggu, Selamat siang Bu sapa sopir itu, siang juga jawab saya, ke JCC ya Pak, baik bu jawab sopir itu kembali *jadi Tanya jawab deh. Hal yang sama juga sopir ini sesekali melihat saya dari kaca spion, namun tidak saya hiraukan, untuk mengalihkan suasana itu saya asik bermain dengan gadget.

Sesampainya di JCC hal serupa terjadi kembali, dimana semua mata tertuju pada saya, ada yang melontarkan senyum, berbisik2 dengan temannya dan banyak hal yang menurut saya ini "pembunuhan karakter". Tapi saya acuhkan meski hati menyayat ingin rasanya melibas mereka yang melihat saya dengan aneh. Dari kejadian ini saya bisa merasakan kalau pandangan itu bisa mengganggu perasaan dan kenyamanan seseorang. Bukan hanya itu tetapi mental kita juga diuji seberapa besarnya ketika kita ditantang untuk memperjuangkan sesuatu.



Dan yang terpenting ini, ketika kemampuan kita diasah lewat pertanyaan-pertanyaan dari juri, ketika itu saya berdandan ala Kartini, pertanyaan seputar Kartini tentang kisah hidup dan peranannya dan lain-lain. Di pertanyaan awal mungkin karena  gugup, saya menjawabnya agak terbata-bata bukan karena tidak ngerti atau tidak tahu jawabannya tapi ya itu tadi saya nervous luar biasa. Karena suasana sudah memanas, akhirnya saya lancar menjawab pertanyaan dan tantangan yang diberikan oleh para juri. Singkat cerita Alhamdulillah saya juara 1 lomba Tokoh Pahlawan. Inti ceritanya, untuk belajar dan mendapat ilmu tidak hanya kita dapatkan di bangku sekolah, dimana dan kapan saja kita bisa belajar dan mempraktekan langsung. Inilah alasan saya ingin mengikuti lomba ini, ternyata tidak gampang juga untuk berbicara di depan public dan disini saya bisa belajar public speaking secara tidak langsung.***

Komentar

Posting Komentar

Terima Kasih sudah mampir ke blog saya, semoga berkesan dan bermanfaat dan jangan lupa boleh tinggalkan jejak dengan memberi komentar, Bye..

Postingan populer dari blog ini

Sakit Kepala Bukan Alasan Lagi Untuk Tidak Beraktivitas

Sekarang Praktis Pesan Tiket Bus Budiman Bisa via Online

Store Tour Harga Teman Giant Bareng Meisya Siregar